Eksotisme Kuliner Gunungkidul – Makanan memegang peran utama dalam keberlangsungan spesies kita. Disusul oleh sandang dan papan. Makanan terhubung erat dengan sejarah, perkembangan, dan masa depan masyarakat. Maju mundurnya sebuah bangsa tergantung makanan yang dikonsumsi masyarakatnya. Yang paling utama mutu nutrisi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi itu. Dan makanan juga terkait erat dengan lingkungan. Kita tidak makan keju karena bukan negara penghasil sapi utama. Tapi kita makan nasi merah gogo dan belalang goreng, karena itu lah yang disedikankan lingkungan. Dua makanan tersebut sangat unik. Tidak biasanya. Setidaknya bagi saya. Dari Jelajah Gizi ini saya jadi tahu lebih banyak tentang eksotisme kuliner Gunungkidul Jogjakarta.
Begitu pentingnya masalah gizi untuk dipahami. Maka Sarihusada, produsen makanan bayi dan ibu hamil, melalui program CSR Nutrisi Untuk Bangsa, melakukan berbagai kegiatan membangkitkan ” kesadaran makan bangsa”. Kegiatan ini adalah kampanye bertajuk Ayo Melek Gizi. Banyak program yang mereka lakukan. Salah satunya adalah program Jelajah Gizi. Tahun ini sasarannya Gunungkidul di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berlangsung 2- 4 November dengan mengikutkan jurnalis dan 10 orang blogger. Untuk memilih blogger mereka mengadakan sayembara menulis di blog. Dari sana terkumpul 212 tulisan dan terseleksi 10 orang blogger. Saya salah satu dari 10 orang blogger tersebut. Kesempatan langka dibawa blusukan ke desa-desa di Gunungkidul dan menjelajahi eksotisme kuliner mereka.
- Baca di sini tentang:Â Â Pangek Ikan Mas sang Pembangkit Selera
Gunungkidul Sebagai Kabupaten Miskin
Begitu mendarat di Adisucipto, dengan sebuah bus besar, seluruh peserta Jelazah Gizi langsung diangkut menuju Gunung Kidul. Kabupaten yang berkat informasi dari media massa saya rekam diingatan sebagai daerah miskin. Tanahnya yang berformasi batu gamping, dikelilingi pantai ini sering kesulitan air bersih. Karena tak memungkinkan mengembangkan pertanian, Gunung Kidul sering di branding sebagai daerah miskin. Tampaknya branding ini lah yang dicoba ditepis oleh Sarihusada. CSR mereka membuat sejumlah program pembangunan dan pemberdayaan di desa-desa Gunungkidul. Meluncurkan pendidikan gizi, mereka juga menggali dari beragam kearifan budaya dan keberagaman pangan lokal. Dari sisi faktor gizi ini lah setidaknya Gunungkidul diharapkan keluar dari branding wilayah miskin.
Eksotisme Kuliner Gunungkidul – Nasi Merah Gogo
Makanan adalah identitas etnis. Spesial untuk Gunungkidul makanan adalah identitas daerah. Kalau ingin tahu seperti apa makanan eksotisme kuliner Gunungkidul coba mampir di Warung Makan Lesehan Pari Gogo. Terletak di Desa Semanu, Wonosari, dekat jembatan Jirak. Sebagai tempat persinggahan pertama sekaligus makan siang, peserta Jelajah Gizi dijamu oleh hidangan khas daerah itu. Ada nasi merah atau sego abang, belalang goreng, ayam goreng bacem, sayur lombok ijo, ikan wader goreng, dan urap trancam.
Sego abang atau nasi merah yang kami santap siang itu ditanam ladang. Jenis padi gogo cocoknya memang ditanam di lahan kering atau dataran tinggi. Biasa juga disebut padi huma. Prof Dr Ahmad Sulaeman ahli pangan dari IPB mengatakan bahwa beras merah dari padi gogo ini tidak disosoh seperti halnya beras putih. Dengan kulit ari masih utuh kandungan nutrisi  2 kali lebih banyak dari beras putih. Ada juga kandungan asam lemak esensial dan zat besi yang sangat bagus bagi pertumbuhan otak anak-anak. Disamping thiamin (B1) yang sangat berguna bagi metabolisme energi dan mengurangi depresi.
- Baca di sini tentang:Â Â Mengenal Beras Bunting – Germinated Brown Rice (GBR)
Namun masyarakat Gunungkidul seperti halnya masyarakat  di belahan bumi lain bergerak kearah modernisasi. Keterhubungan dengan dunia luar menciptakan assimilasi hebat dalam pemilihan bahan makanan. Alih-alih menggembangkan padi ladang atau umbian-umbian yang lebih cocok tumbuh di daerah itu, mereka memilih mengkonsumsi nasi putih. Itu berangkat dari sebuah kebijkasanaan pertanian di masa lalu yang terkenal sebagai revolusi hijau. Masyarakat beramai-ramai meninggalkan kearifan yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Salah satunya di Gunungkidul. Ketimbang makan padi ladang atau singkong yang tumbuh dengan baik mereka beralih mengkonsumsi beras putih yang ditanam di sawah. Peralihan pola makan ini menciptakan konflik tersendiri dalam masyarakat. Disamping pangan berbasis beras putih yang banyak menimbulkan penyakit diabetes, produksinya terkadang mengorbankan lingkungan melalui penyemprotan pestisida.
Belalang Goreng Yang MengejutkanÂ
Kecenderungan etnis dan ikatan yang melekat pada tradisinya membuat kita cenderung memilih suatu makanan tertentu. Nenek moyang saya tidak makan belalang. Jadi kejutan banget saat menemukan belalang goreng terhidang sebagai asupan protein dalam warung makan Pari Gogo. Awalnya bergidik. Terutama saat melihat gerigi yang masih utuh pada kaki-kakinya. Dan tentu juga matanya. Ingat belalang sembah yang sering saya mainkan di masa kecil. Woah..jadi..belalang itu kini perlu disantap?
Saya minta penjelasan pada Prof Ahmad, apakah ini belalang sembah. Syukurlah bukan. Ini adalah belalang kayu atau Walang Kayu dalam bahasa Gunungkidul, serangga herbivora yang aslinya berwarna kuning kehijauan. Masyarakat Gunungkidul cukup bijak memilih serangga ini sebagai sumber gizi  karena belalang dewasa mengandung  protein tinggi, disamping lemak, kalsium dan zat besi.
- Baca di sini tentang:Â Â Tumis Bunga Pepaya dan Cara Membuatnya
Teman-teman mengatakan mengatakan belalang kayu goreng itu ini rasa udang. Kalau cangkangnya mungkin mirip. Tapi menurut saya rasa yang paling dominan yah perpaduan dari rasa kayu, jerami dan daun kering goreng. Kriuk-kriuknya  mengaduk-aduk seluruh memori rasa dalam benak yang membuat saya hanya bertahan pada dua ekor saja.
Sedihnya belalang pun sudah mulai ditinggalkan masyarakat Gunungkidul secara umum. Saya mencurigai ada keterkaitan pada aspek sosial bahwa makanan juga digunakan sebagai simbol status. Seperti yang terjadi pada lobster, faktor finasial melambungkan kastanya sebagai makanan mahal yang hanya bisa diakses oleh golongan mampu. Sementara yang terjadi pada belalang sebaliknya, makanan kelas bawah yang identik dengan kemiskinan.
Siang itu saya jadi puas mendengar soal sego gogo merah, belalang goreng dan lauk pauk lain yang jadi bagian dari eksotisme kuliner Gunungkidul. Dari sini perjalanan dilanjutkan ke Sambirejo. Kami akan meninjau tempat tinggal dan praktektek Bidan Listiyani Ritawati. Beliau adalah salah satu srikandi yang bangkit dari segala kekurangan Gunungkidul. Tapi akan saya tulis di seri ke-2
Bagaimana dengan dirimu temans, kira-kira bisa makan belalang?
68 comments
kalau belalang kayu saya pernah makan bu Evi. Lha ibu saya memang orang gunung kidul ha.ha.ha.
Rasanya emang sprt kayu, atau daun kering yg digoreng ya mas Hindri…
kalau rasanya saya sudah lupa bu, sudah lama sekali tidak makan. Tapi memang saya tidak terlalu suka juga 😀
Berarti betul ya Mas Hindri belalang bukan pilihan sbg asupan gizi 🙂
bu Ev, sampai saat ini saya belum pernah makan belalang goreng…. trus rasa yang ibu gambarkan di atas jadi rasanya gimana ?
Rasa pastinya gak tahu Kang Yaan…Lah rasanya emang nano2 gitu kok 🙂
Uni, saya teringat perjalanan belasan tahun atau bahkan sekitar dua puluh tahun yang lalu ke suatu daerah di Solok, namanya Koto Anau, saya beli belalang yang sudah di keringkan dan dirangkai menjadi satu. Sampai di rumah saya goreng dan itulah belalang yang saya makan seumur hidup sampai saatini…. 🙂
Jadi di Sumbar ada jg yg makan belalang ya Pak Ded. Di Bukittinggi saya belum pernah melihatnya…:-) tks atas infonya Pak
aku suka gunung kidul dengan segala keeksotisannya
tiap cuti suka ngeluyur kesana tapi ga pernah jajan belalang
ibue ngeri katanya…
paling banter mampir beli tiwul
Iya, mindset kita terbentuk oleh sejarah panjang mas Rawins. Yg terbiasa menganggap bekalang hanya serangga pasti butuh perjuangan utk makan ini 🙂
Wahihihihi… aku juga abis ke Pari Gogo loh Mbak Evi *udah sebulan yang lalu ding* sayang aku gak coba sayur tahu khasnya dia, soale pedes jarene…
Temanku makan belalang, langsung gatal-gatal… kasian merah-merah bentol… kalau aku sih gak papa, tapi biasa aja gak suka suka amat 😀
Iya Un, katanya karena proteinnya mengandung sesuatu, maka tak semua orang cocok dng belalang. Jd kemarin ada jejak Una disana yah 🙂
kayaknya enak tuh belalang gorengnya bu… 😀
Kayaknya tergantung selera jg Ko. Selain digoreng, di tempat lain ada juga yg dibacem lho…:-)
Sayang banget ya Mba Evi. Kearifan lokal ditinggalkan demi nasi putih. sedih bacanya. Kalo belalang mah belom berani kayaknya. Wong belalang hidup saja bikin saya lari ketakutan. Ga pernah akur sama binatang berkaki lebih dari 4. heheee
Iya Mas Dani, ketika tuntutan selera yg dinomor satukan, begini nih akibatnya..:)
mak… foto2 makanannya bikin ngiler, pengen nyoba juga nih belalang
Ayo jalan-jalan ke Gunungkidul Mbak Rahmi 🙂
Tiap daerah punya kekhasan bidang pakaian, kuliner ya jeng.
Sego abang saya jarang makan kecuali kalau di Cimahi karena mertua dan adik ipar suka masak sego abang. Di Kampung saya malah belum pernah makan sego abang.
Belalang goreng saya juga belm pernah makan, tapi laron dlu sering makan, baik digoreng maupun di bothoks.
Terima kasih atas reportasenya
Salam hangat dari Surabaya
Berhubung sego abang jauh lbh sehat dari sego putih, mbok sesekali minta bude memasakannya Pakde..Biar selera tak terlalu kaget, dicampur beras putih saja dulu 60:40..Nah kalau sdh terbiasa baru deh pelan-pelan ditingkatkan…:)
di daerahku (Majalengka) banyak jg yg suka makan belalang tante, tapi entah kenapa keluarga saya -mamah maksudnya- ga pernah masak, jadi smp sekarang belom pernah makan, dan ga berani sepertinya 😀
kalo beras merah mah alhamdulillah suka, pasti tersedia di rumah walau ga untuk dikonsumsi setiap hari.
Habis bentuk serangga ini emang rada aneh ya Teh..Tidak bisa disembunyikan bentuknya..kalau bagian2 tertentu dibuang utk menyamarkan bentuk, habis semua dong 🙂
subo, teecu ingat waktu berguru di sumedang. melihat petani mengebutkan sarungnya di antara tanaman padi, kami coba mencari tahu. ternyata mereka menangkap belalang. kaki belalang yang berduri mudah tersangkut di kain sarung. kami pun mendapat bagian beberapa ekor.
“enak. coba saja dipanggang di atas petromax”, kata sang petani. meski ragu kami jimpit kedua kaki belalang dan menempelkan badannya ke atas petromax yang panas itu sambil mengguling-gulingkan hingga matang.
tak perlu disiangi lagi, setelah matang kami mulai mencoba memakannya. rasanya berbeda dengan deskripsi subo. benar-benar seperti udang. yang jelas, setelah itu kami bisa bertengkar memperebutkan belalang yang kebetulan singgah di pondok reyot kami di tengah sawah.
Jenis belalangnya beda kali teecu (haha…), makanya rasanya gak sama…To bisa saja sih yg beda adalah syaraf2 dipengecap rasa kita, jadi beda jg terjemahan otaknya. Tp yg kemarin itu, aku curiga krn memakannya disertai rasa takut, jadi deh otak kacau balau ngasih informasi 🙂
Entah sudah berapa puluh tahun saya nggak menikmati sego abang yang berasal dari varietas padi gogo. Ketika kecil, kami sering mengkonsumsinya, sangat enak sekali. Apalagi ditambah dengan sayur lalapan yang di’krawu’ dengan parutan kelapa yangtelah diberikan bumbu. Plus ikan asin, dan sambal trasi, prpaduan yang nikmat. Sayangnya sekarang di kampung saya sudah nggak ada yang namen padi gogo.
Belalang goreng ? saya belum pernah menikmatinya, cuman sering liat di tayangan tipi. Sepertinya gurih tuh Bu Evi ?
Salam Silaturahim dari Blitar dan blog baru
Iya Pak Ies, sego putih lebih disukai ketimbang sego abang. Mungkin karena faktor rasa kali ya Pak, jaman dulu beras merah kebanyakan kan perak dan kasat..Padahal dikasatnya itulah letak semua vitamin dan serat..Tapi yah begitu lah kalau kita lbh peduli rasa sehingga peran beras merah menyusut. Untungnya sekarang tambah banyak orang menyadari dan mulai beralih menggunakan beras merah untuk konsumsi sehari-hari..
Emang ada jejak gurih dalam belalang ini Pak..Cuma karena saya makannya penuh kegemparan, yah gak memberi perhatian detail terhadap rasa2 yang lain..
Selamat atas blog barunya Pak Ies..:)
ya ampun, bunda habis dari wonosari? gunungkidul?
itu tanah kelahiran saya bun..
mampir ke tulisan ini laksana minum air seteguk di tengah oase kering..
kangen saya makin menjadi. Tapi meskipun demikian, saya tetap ngga bisa menikmati belalang goreng.. gatal-gatal bun..
Oooohh Tina dari Wonosari.Sama dunk ya dengan Mas Jarwadi.Agak panas udara disana ya Tin, atau pas kebetulan saja yah kemarin udaranya panas sekali..Tampaknya Wonosari sedang menggeliat membangun..:)
wah ini dia ceritanya bak evi..hmm penasaran dengan belalang gorengnya mbak..
itu penampakan makanannya khas banget mbak..sayur tahu dan daun pepayanya aduh jadi ngileer nieh..jalan jalan penuh pengalaman dan tambah info gizi yah mbak jadinya..
bener2 lucky mbak evi..:)
salam
Iya Mama Kinan. Tiap ketemu makanan pasti dibahas oleh Profesor Ahmad Sulaeman tentang kandungan gizi dan manfaat makanan tersebut bagi tubuh. Saya baru ngeh kemarin ternyata nasi dari beras merah ternyata mengandung thiamin yg mengurangi tingkat stress kita. Mestinya tiap penduduk Jakarta makan nasi merah ya..Sekarang harganya sama dengan beras putih kok..
Terima kasih Mama Kinan, saya memang merasa beruntung bisa ikut serta dalam jelajah gizi. Banyak banget pengalaman yang saya dapat 🙂
Penampakan Belalang Goreng memang sperti udang kecil2 ya, Bu.
Aku belum pernah makan belalang goreng, itu digoreng utuh apa di lapisi tepung, Bu?
Belalangnya tak dilapisi kok mb Idah, langsung ketemu badannya 🙂
Ada akuuu.. ada akuuuu di poto pertama 😀
Balapan makan walanng yuk mbak, berani gak? 😀 eh
Hehe… emang kemarin Eka habis berapa? Paling2 satu dan itupun kakinya doang 🙂
pernah makan belalang goreng sekali, segigit doang, makan di rumah
itu almarhum papaku sih pengen nostalgia, dan pwngen cerita ke anak2nya, meski bukan makanan yg biasa dimasak di kampung, tapi remaja kampung itu suka coba2…
nasi merah juga dulu ditanam di kampung kami di kaki gunung, agak pera tapi manis… enak…,
sekarang juga di sana udah makan nasi putih
Iya orang jaman dulu krn negara masih amat susah memakan apa saja yg disediakan alam. Basically adlh utk survive. Tp ketika pilihan lain tersedia, lbh mudah diakses atau lbh enak, pelan2 keberagaman sumber pangan kita menghilang. Apa lg saat urusan pangan kiga serahkan ke pasar, tambah seragam lah makanan kita. Sebab pasar hanya menyediakan barang2 yg banyak permintaannya. Dan akhirnya belalang sbg sumber protein ditinggalkan. Begitu mb Mon 🙂
Wiiiih selamat kak Evi, kereeen rupanya kakak salah satu pemenangnya.
Belalang .. aduh kalo saya mungkin menolak ya memakannya. Tapi kandungan gizinya tinggi skali yah.
Menurut Pak Ahmad yang ahli pangan dari ITB, belalang itu setara proteinnya dng daging sapi Mbak Niar..Jadi kalau gak ada daging sapi yah mari kita coba makan belalang 🙂
belum pernah coba, mbak..
meski disini banyak banget yang jualan aneka serangga goreng tapi rasanya masih ga tega makannya..
referensinya noted, mbak.. lumayan kalo pulkam ke yk 🙂
Thailand lebih ekstrim lagi kalau makan serangga ya Mbak Hilsya..Konon tarantula juga masuk menu khusus disana 🙂
woow… webnya kereeen
Salam kenal, numpang ijin berteduh sambil minum teh.
Silahkan mampir Mas..Terima kasih 🙂
pernah lihat berita mengenai belalang goreng di TV bun, tapi kok aku gak tega ya kalau harus makan 🙂
Karena faktor tak biasa mbak Lid..Orang yg tak biasa makan daging sapi akan jijik juga melihat semur hehehe…
Enak Uni sega abangnya, meski tuk anak2 perlu dicampur abang-putih agar tak terlalu pera. Belalang goreng pernah mencoba (oleh2 khas gunung kidul). Selamat jelajah gizi Uni, menanti reportase berikutnya. Salam
Betul Mbak Prih..saya dirumah juga mencampurnya dng beras putih, beras hitam dan sesekali dng kacang hijau hehehe..dapat protes sih awalnya, tapi karena saya ngotot yah lama-lama hilang dengan sendirinya itu protes…
weh makan belalang, katanya seh enak tapi niar gag pernah nyoba 😀
Ntar kalau nemu mesti dicoba satu barang dua ekor niar..biar jadi bukti hidup bahwa belalang bisa dimakan manusia hehehe…
Mba Eviiiiiii…baru pulaaaaang…*cium tangan dulu*
Whoaaaaa…beneran nih mba…makan belalang???…ehm…
dan selamat yah mba Evi..karena sudah terpilih menjadi salah satu blogger dalam event iniiiiiih 🙂
Hehehe..kita sama2 beruntung ya Bi gara-gara ngeblog bisa jalan-jalan. Perbedaanya cuma “sedikit”, dirimu mblusukan di Korea, aku di tanah raja-raja Jawa ..Makasih ya Bi
Selamat dengan keberhasilan mbak berkesempatan ikut jelajah gizi ini.. pengalaman yg OK banget ya mbak… Ttg belalang itu..aku kaya’nya ga berani nyoba deh… Eh, itu Pak Ahmad apa yg pakai batik putih-corak coklat & berkacamata? Kalau gak salah mengenali..beliau dosen kami di GMSK dulu… Bang Ahmad, begitu kami memanggilnya.. 🙂
Terima kasih Mbak Mechta..Iya kayaknya hampir tiap orang serem pada belalang sebagai bahan makanan. Penyebabnya ketidak bisaan saja kok Mbaak..Kalau dilihat sekilas udang juga seram penampilannya..
Betul Mbak Mechta itu adalah Pak Ahmad..Orangnya kocak. Pertanyaan aneh seputar gizi juga beliau jawab, yang bikin kita ngakak sepanjang jalan..Jadi dulu doi dipanggil Bang yah? Pantas orangnya gaul banget 🙂
makan belalang goreng nggak pernah, ngebayanginnya aja saya aneh klo ampe memakannya, masih asing… *jujur*
klo makan nasi merah pernah….
Memang, hampir sebagian besar orang tak familiar dng belalang sbg makanan 🙂
Makanan ini merupakan salah satu makanan kesukaan saya Mba, dan mengingatkan saya pada saat melakukan perjalanan di sana. Suasana pedesaan dan rasa nasi beras merah yang mengasyikkan dan daging belalang yang gurih. Hm……..
Nikmat dan tiada duanya, dan tidak mudah didapat ditempat lokasi lain.
Sukses selalu
Salam Wisata
Nah akhirnya berjumpa dengan penggemar belalang. Mas Indra, menurut Proh Ahmad Sulaeman, nasi merah dan belalang ini kombinasi cocok untuk mendapat segala unsur gizi dalam makanan. Ditambah sayur lombok hijau dan gula daun pepaya, lengkap deh..:)
[…] di hari pertama jelajah gizi, usai makan siang di Pari Gogo kami meneruskan perjalanan ke desa Sambirejo. Mengunjungi bidan Listiyani Ritawati atau  Bu Lis […]
Meskipun belalang itu halal, saya masih belum pernah makan belalang, Bu. Pasti bakalan bergidik deh 😀
Imej tentang Gunung Kidul di benak saya memang lekat dengan kemiskinan, karena sering banget terdengar berita daerah ini mengalami kekeringan. Ternyata hal ini tidak benar ya…
[…] navigation ← Previous Eksotisme Gunung Kidul 2 : Bu Lis, Es Krim Ubi Ungu & Mbah Noto Posted on 11/08/2012 by […]
Saya kangen dengan padi gogo yang dulu ditanam kakek saya.
Jaman masih belum mengenal pupuk kimia
Saya belum pernah makan belalang Mbak Vi.. Nasi merah sudah lama sekali saya tidak mengonsumsinya. Kalau lebih sehat dan kaya gizi, sepertinya saya harus mengenalkannya pula sama anak-anak.. 🙂
Jadi, dirimu menang kontes Jelajah Gizi juga toh. Hehehe..
Aku seru sendiri, dan geli-geli gimana gitu waktu pada #Livetweet lagi makan belalang goreng gitu 😆
[…] dusun kreatif pembuat aneka topeng. Tunggu ya Eksotisme Gunungkidul seri ke-4 Sedang yang mau baca Eksotisme Gunungkidul 1 bisa klik disini dan Eksotisme Gunungkidul 2 disiniPasar Argosari WonosariJl. Brigjen Katamso, […]
Rasanya kayak apa ya belalang gorengnya Mbak # liat foto2 ini jadi nyesel gak ikutan nulis di jelajah gizi..
Belalang ?
waaahh … orang bilang rasanya gurih ya bu …
krenyes-krenyes gitu …
salam saya Bu
Sego abang Wonosari memang maknyusss Uni… 🙂
kirain itu udang mbak, jadi bukan ya?
seruu ya mbak pastinya, dan selamat berhasil masuk menjadi salah satu pemenang 🙂
[…] Sego Abang & Belalang GorengIngin berbagi kebahagiaan dengan teman-teman sekalian. Artikel saya Eksotisme Gunung Kidul 1: Sego Abang dan Belalang Goreng keluar sebagai artikel terbaik paska jalan-jalan Jelajah Gizi. Tulisan yang lahir setelah 3 hari […]