Foto: Genpi
Cuci Parigi Pusaka di Pesta Rakyat Banda 2018 – Pesta tahun ini terasa istimewa. Pasalnya ritual adat Cuci Parigi Pusaka yang dilangsungkan  di Negeri Lonthoir, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, ditampilkan sebagai agenda utama. Disebut juga sebaga Rifaewar hanya dilakukan setiap 10 tahun sekali. Parigi artinya sumur. Jadi secara harfiah Cuci Parigi adalah membersihkan 2 sumur yang terletak di atas Bukit Lonthoir. Salah satunya disebut Parigi Pusaka karena berumur ratusan tahun dan awal pembentukannya pun penuh cerita legenda dan mistis.
Baca Juga Banda Neira Aku Datang Baca Juga Wisata Sejarah Pulau Banda Neira
Pela Gandong Kampung Baru dan Lonthoir
Saya sudah di Pulau Banda Naira sejak tanggal 11 November. Menyaksikan beberapa ritual awal dari acara Cuci Parigi Pusaka ini. Naira dan Lonthoir terpisah dengan jarak sekitar 15 menit perahu motor. Parigi Pusaka terletak di Lonthoir namun upacara adat juga juga berlangsung di Kampung Baru, Banda Naira. Itu terjadi karena kedua Kampung terikat dalam Pela Gandong, sebutan yang diberikan kepada dua atau lebih negeri yang saling mengangkat saudara satu sama lain. Pela artinya ikatan atau persatuan. Gandong artinya saudara. Singkatnya Pela Gandong adalah suatu ikatan persatuan antar dua kampung, suku atau agama yang berbeda dengan saling mengangkat saudara.
Kampung Baru sebagai saudara muda adalah Gandong dari kampung Lonthoir yang lebih tua.
Upacara Buka Kampung di Naira
Buka Kampung merupakan satu tradisi di Maluku Tengah. Bahwa setiap kali hendak melaksanakan acara adat atau hajatan, mereka mengadakan ritual Buka Kampung. Berlangsung malam hari dengan membaca doa-doa atau mantra-mantra meminta izin kepada para penguasa alam Allah SWT dan roh-roh nenek moyang yang berada di sekitar area . Agar diizinkan membuat keramaian. Buka Kampung kali ini tentang minta izin ikut melaksanakan upacara Cuci Parigi Pusaka di Lonthoir.
Kesempatan ini juga digunakan mempersiapkan perlengkapan Tari Cakalele. Selain busana tradisional yang akan dikenakan para penari, terlihat wadah berisi kemenyan yang dibakar dan sesajian seperti bunga rampai.
Tarian Cakalele dan Simbolisasi Bambu Berhias
Tanggal 12 November 2018 sore. Saya merapat ke Rumah Adat Kampung Baru yang sudah ramai. Halaman luar berhiaskan janur berbentu segi empat dengan gonjong di tengah. Dalam halaman sendiri tertancap 5 batang bambu, lurus, dan diberi lilitan kain merah di atasnya. Sore ini akan ada pertunjukan tari cakalele sebagai bagian dari upacara Cuci Parigi Pusaka.
Lima orang perempuan setengah baya, bersanggul, berkebaya putih dengan sampiran selendang pink di pinggang, keluar dari Rumah Adat. Masuk ke halaman rumah di depannya dimana seorang wanita usia lanjut berpakaian hitam-hitam sudah menunggu. Beliau adalah salah satu tetua adat. Kelima wanita tersebut memakaikan selendang yang juga hitam ke bahunya. Kemudian lima Penari Cakalele datang menghampiri. Berjongkok memberi salam, menari sejenak dan mendahului ibu tetua adat menuju ke halaman rumah adat.
Begitu pun sebelum memulai tarian di halaman, 5 penari berbusana tradisional kembali memberi hormat. Para tetua adat duduk di beranda menyaksikan.  Dengan tombak, parang dan perisai tarian pun dimulai. Musik tradisional yang disebut Bong 9 sudah ditabuh. mereka berputar-putar sambil mengangkat kaki, mengayunkan pedang atau tombak, dengan mengelilingi empat batang bambu yang tertancap di halaman.
Bambu yang tertancap lurus dan kokoh tersebut berasal dari bambu pilihan. Simbol dari niat lurus dan keyakinan akan Kebesaran Tuhan. Sementara kain merah yang melilit di puncaknya merupakan simbol dari kekejaman penjajah di masa lalu. Cerita tentang pembantaian 44 Orang Kaya Banda atau pemangku adat Banda bisa dilihat dalam link ini: Wisata Sejarah di Banda Neira. Nah simpul kain merah pada ujung bambu adalah simbol kepala masyarakat asli Banda yang dibantai Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 8 Mei 1621 . Sedangkan kain merah yang menjuntai adalah simbol dari usus mereka yang terburai karena disembelih oleh para Samurai Jepang.
Satu persatu 5 penari mempersembahkan gerakan yang ditutup dengan kembali memberi penghormatan kepada tetua adat.
Menunggu Gandong di Lonthoir
Pada hari ketiga (13/11) saya sudah berada di Lonthoir. Sekitar pukul 04.00 sore warga Lonthoir sudah merapat ke dermaga, di Pantai Batu Lubang Lahar. Di sana sudah dibuat 1 lingkaran di tanah lapang, dibatasi oleh pagar kayu dan tali rafia. Para tetua adat sudah duduk rapi menunggu Gandong mereka dari Kampung Baru. Begitu kora-kora yang membawa warga kampung baru muncul dari Cakrawala mereka pindah ke bibir pantai. Di sana sudah disediakan 4 kursi rotan dan 2 kursi plastik. Kursi-kursi tersebut akan digunakan untuk memopong tamu dari Kampung Baru.
Dari belang darat (kora-kora) yang melaju perlahan sayup-sayup terdengar tetabuhan. Warga Lonthoir serentak melambai lambaikan tangan. Belang Darat naga yang disebut kora-kora diikuti perahu 4 besar dan kecil. Semakin merapat ke bibir pantai semakin riuh sambutan warga Lonthoir.
Lalu para anak muda Kampung Lonthoir bergegas mengangkat kursi rotan maupun plastik tadi, mendekat ke arah Perahu. Tetua adat turun Kampung Baru turun terlebih dahulu dan langsung di dudukan ke atas kursi rotan dan dibopong ramai-ramai ke tepi pantai. Satu persatu, terutama yang tua dan penari Cakalele mendapat perlakuan serupa.
Sebuah penghormatan yang sangat tinggi dari tuan rumah. Sebuah ungkapan sayang bahwa tamu-tamu mereka tak boleh basah oleh air laut. Karena memang tidak ada pendaratan khusus di tempat itu.
Foto: Genpi
Setelah semua siap mereka kembali ke dalam lingkaran tanah lapang. Upacara penyambutan dilakukan dengan tarian Cakalele. Usai para tamu digiring ke rumah warga untuk beristirahat dan keesokan paginya mulai acara Cuci Parigi Pusaka.
Upacara Cuci Parigi Pusaka
Hari keempat (14/11) adalah puncak Pesta Rakyat Banda 2018. Pagi-pagi kampung Lonthoir sudah ramai, melebihi keramaian hari raya Idul Fitri. Karena cuci Parigi pusaka atau disebut juga Rofaewar dilakukan hanya 10 tahun sekali, semua perantau merasa wajib pulang kampung. Belum lagi media, fotografer dan turis yang sudah berada di sana sejak kemarin.
Sekitar pukul 09.00 mereka sudah menaiki 360 anak tangga Lonthoir yang warna-warni menuju lokasi Parigi sumur pusaka. Kedua sumur tersebut berada di atas bukit dengan ketinggian 300 m diatas permukaan laut dan dalamnya sekitar 4 meter.
Kesaktian Angka 99 di Lonthoir
Setelah dibuka oleh gubernur Maluku, Said Assagaff dengan memukul Tifa, 99 orang lelaki berpakaian putih dengan kepala dibalut kain kuning, muncul dengan mengarak belang atau perahu adat memasuki area Parigi Pusaka. Mereka berangkat dari rumah adat Lonthoir.
Dari 99 orang ini, 81 diantaranya akan jadi pasukan utama dalam menimba parigi. Jumlah 81 orang karena ada 9 anak tangga. Dengan perhitungan setiap anak tangga ditempati 9 orang. Ember-ember hitam sudah bergeletakan di mulut sumur. Angka 99 juga simbolisasi dari jumlah tasbih.
Diiringi Syair Kabata
Tak lama terdengar gema kabata ( suatu bentuk sastra lisan) memenuhi di area. Mereka bernyanyi bersahutan mengikuti irama tetabuhan Tifa. Yang akan ditimba adalah satu sumur yang bersebelahan dengan Parigi pusaka. Dengan irama bersemangat mereka mulai menimba. Menyiramkannnya kepada sesama lalu ke masyarakat yang berusaha mendekat guna memperoleh berkat dari siraman air tersebut.
Iya memang, sumur yang dikuras airnya itu terhubung dengan Parigi pusaka di sebelahnya. Ada lorong penghubung kedua kedua sumur di bawahnya. Menguras air sumur pertama juga mengeringkan Parigi Pusaka. Selama proses pengeringan, Parigi Pusaka yang ditutupi kain putih selalu dijaga 4 anggota pasukan adat. Sesekali mereka mengintip ke dalamnya.
Irama tetabuhan Tifa yang dinamis berganti-ganti. Penonton ya awalnya tertib satu persatu ikut turun ke area parigi. Ada yang sekedar mengambil foto dan ada juga yang minta dibasahi untuk memperoleh berkat. Sementara di mulut sumur para tetua adat terus memberi komando dan menyemangati para penimba.
Kepercayaan bahwa air dari Cuci Parigi Pusaka mengandung berkat juga terlihat dari beberapa orang yang bersemangat mengisi botol botol mereka untuk dibawa pulang. Mereka juga mengambil lumpur parigi untuk dioleskan ke seluruh tubuh. Saya ikut kebagian dan mengoleskan pada tangan. Di cuaca yang panas rasanya memang segar.
Kabata terus dilantunkan. “urat e warataka urate” terus menerus dikumandangkan. Ini adalah doa minta kekuatan dan restu. Di lain waktu suara kabata berganti dengan lantunan doa salawat nabi sebagai ungkapan syukur atas keridhaan yang kuasa atas ritual adat yang sedang berlangsung.
Air yang tadinya bersih berubah menjadi coklat dan berlumpur. Para pria yang menjaga sumur pusaka terus mengintip ke kebalik kain putih yang menutupi sumur pusaka. Setelah ember hanya mengangkut dedaunan, ranting-ranting, dan lumpur. Para penimba terus menimba dan cuci parigi pusaka.
Mengarak Kain Gajah
Setelah sumur cukup kering akan ada pembersihan terakhir, dilap menggunakan kain putih yang di sebut kain gajah.
Sebelumnya penari Cakalele menjemput rombongan dari rumah adat untuk membawa kain gajah sepanjang 99 depa yang akan digunaka. Dianalogikan sebagai kain gajah sebab hewan tersebut dapat menghisap air dengan belalainya. Gajah sendiripun dipercayai mempunyai hubungan mitos dengan Kepulauan Banda.
Dikawal oleh rombongan Cakalele, sambil menari, diiringi tetabuhan tifa, lantunan kabata, lilitan kain gajah sudah terbentang. Ia dipikul ramai-ramai menuju Parigi Pusaka. Lalu kain diturunkan untuk menyerap sisa air, membersihkan semua ranting-ranting dan daun pala yang tak sengaja diterbangkan angin masuk ke dalamnya. Bahkan kain gajah juga menutup mata air sementara. Ketika semua sudah siap kain putih diangkat kembali. Saat itu mata air langsung mengalirkan air baru dan bersih untuk kembali mengisi Parigi Pusaka dan sumur di sebelahnya.
Kain gajah kotor kembali digotong beramai-ramai. Kali ini oleh ratusan perempuan tanpa menggunakan alas kaki. Mereka membawanya menuju pantai. Kain gajah di cuci bersih. Ini sekaligus sebagai simbol membuang semua kotoran dari tanah Lonthoir. Agar benar-benar bersih kain gajah kembali di arak. Kali ini menuju masjid Negeri Lonthoir untuk sekali lagi dibilas. Nyanyian Iriyoyo yang penuh kegembiraan dan tawa berkumandang di udara. Matahari yang menyengat tidak mengurangi antusias semua orang.
Terakhir kain gajah dikembalikan ke rumah adat Lonthoir untuk dikeringkan. Lewat sejumlah prosesi lagi kain akan disimpan kembali digunakan 10 tahun yang akan datang.
Dan dengan demikian Pesta Rakyat Banda 2018 pun berakhir. Sampai bersua tahun depan!
15 comments
Wah, menarik nih. Kalau di Jogja, acara macam seperti ini ada ketika mau 1 suro.
Candi di Jogjakarta atau ada juga acara cuci-cuci sumur seperti ini, Mas Gallant?
Keraton biasanya, Uni 😀
Whuaa cerita yang seru banget, aku aja bacanya berasa ikot jalan-jalan ke Banda. Tradisi yang masih di pertahankan warisan budaya ya, Mba!
Pesta2 rakyat begini yang perlu dijaga oleh penerus daerahnya masing2.
Iya Cik. Melestarikan budaya adalah dengan terus dipakai. Transformasi ke generasi selanjutnya akan berlanjut terus
paling suka lihat pesta budaya saeperti ini, indonesia memang kaya budayanya
Kita sama Mbak Hastira. Budaya Indonesia akan habis habis bila ditulis sik. Semua punya ciri khas dan keunikan sendiri
Acaranya meriah banget dan penuh makna yang dalam ya mba setiap ritualnya beruntung bisa lihat langsung
Iya mbak Dedew. Tradisi yang sangat unik, apalagi acara ini diantisipasi hampir oleh semua orang Banda. Para diaspora bakal sempet sempetin pulang kampung
Tradisi seperti ini yang membuat Indonesia Kaya. Mesti dilestarikan. Mereka ga lupa adat Dan sejarah sampai simpul merah tanda pengingat pemangku adat dibantai masih dilestarikan
Karena Sejarah adalah identitas, dimana kepadanya kita akan selalu bisa melihat kebelakang dan belajar darinya ya Kang Aip
Duh, nyesel saya gak ikutan festival ini. Harus tunggu 10 tahun lagi deh.
Saya juga senang dengan Pela Gandong ini. Pela Gandong inilah yg mempersatukan masyarakat Maluku di perantauan. Jadi misalkan ada orang Maluku yang bertemu dengan orang Maluku lainnya di tanah rantau, mereka otomatis akan saling bantu karena Pela Gandong ini 🙂
Acara cuci Parigi yang asli memang 10 tahun sekali. Ini momen yang langka dan saya pun merasa beruntung bisa langsung melihat .
Iya semoga Pela Gandong tetap Lestari di bumi Maluku sehingga usaha-usaha untuk mencabik persatuan mereka selalu bisa di tangkal, Dar
Nyimak sesuatu yang berrnilai budaya dan seni lokal begini sesuatu yang aku suka dan tentu tak ternilai. apalagi ritualnya terjadi 10 tahun sekali. wah kece juga ini Cuci Parigi …btw mba Eva gambarnya kece kece lhooo…. cadas deh mba Kameha-Meha Kesayangan akuuu iniii
Merasa tersanjung dipuji oleh Abang hobah. Terima kasih ya selalu menyemangati aku