Kemarin jalan-jalan ke blognya Om Nh dan membaca 3 aspek yang bisa dikembangkan dalam menulis blog. Pada paragraf penutup beliau membuat tantangan tentang tiga aspek dari penggemis. Alih-alih menjawab disana, tak tuliskan disini sekalian update blog.
Bangsa Indonesia punya kemampuan memberantas kemiskinan dan memperkecil jumlah pengemis yang turun ke jalan jika diterapkan tiga tindakan dibawah :
1. Hidupkan kurikulum entrepreneurship di sekolah. Sudah jadi rahasia umum bahwa tujuan anak-anak Indonesia bersekolah untuk cari kerja. Namun bila sejak dini pikiran mereka direcoki topik menciptakan lapangan kerja, saya yakin akan lebih banyak orang mengikuti jejak Bill Gate. Tanpa ijazah sarjanapun sanggup menggaji sarjana-sarjana terbaik dibidang masing-masing. Entrepreneur mindset akan membuka jutaan lapangan kerja sehingga tiap anak bisa sekolah. Pendidikan membuka peluang untuk hidup lebih baik.
2. Beri Ilmuwan peneliti insentif yang baik dan naikan biaya riset. Rahasia umum berikut, banyak ilmuwan peneliti diperlakukan sebagai pegawai negeri biasa. Fasilitas yang mereka terima hanya sesuai pangkat, tidak berdasarkan prestasi dari proyek yang digarap. Akibatnya gitu deh mereka tak terpacu bekerja lebih giat. Kalau ada kesempatan lebih suka menerima tawaran dari negara lain karena penghargaan dan rewardnya lebih menarik. Kalau Indonesia kaya oleh peneliti terbaik dan dana riset juga tersedia, hasil penelitian terutama yang aplikatif bisa langsung digunakan untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Ekonomi negara yang maju penggemisnya akan tambah sedikit.
3. Hidupkan kembali balai latihan kerja. Depnaker dulu memiliki balai latihan kerja. Tapi entah mengapa sekarang musnah begitu saja. Padahal rakyat Indonesia tambah banyak yang tentu sejalan dengan tuntutan kesejahteraan.Kurikulum balai ini harus sejalan dengan trend kebutuhan bursa kerja. Jangan membuat program mengetik sebelas jari sementara yang dibutuhkan adalah tenaga yang bisa mengoperasikan komputer. Pada balai ini juga disediakan latihan cara berproduksi seperti bagaimana membuat selai pisang atau merubah tepung singkong jadi biskuit yang enak.
Kalau mau masih banyak lagi aspek yang bisa digali guna meminimalkan pengemis di negara kita. Tiga aspek diatas cuma tulisan sotoy diantara kesibukan hari 🙂
Salam,
–Evi
PS. Om NH sebetulnya aku sdh berusaha menulis pendek. Namun belum bisa
40 comments
Menarik sekali. Selama ini saya memang tidak setuju dengan keputusan pemerintah yang melarang untuk berhenti memberi pengemis di jalanan.
Karena pemerintah selama hanya bisa melarang, tidak pernah bisa memberi solusi.
Kalau memang tujuannya mengurangi jumlah pengemis, mestinya pemerintah juga memberikan pelatihan keterampilan atau pekerjaan alternatif pada pengemis.
Bagaimana pengemis mau berhenti kalau nyatanya memang tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan?
Ya gitu deh Mas Saad, cuma segitu kepandaian para pejabat kita, kasih perintah tanpa solusi. Tp bukannya tak mau memberi solusi mereka hanya gak tahu gimana caranya. Menyedihkan ya?
sedikit menambahkah :
Tiga poin yang disebutkan Bu Evi harusnya juga diimbangi dengan kebijakan pemerintah terutama dari sisi kemudahan mendapatkan modal serta bimbingan manajerial. Akan lebih bijak lagi jika pengembalian modal tidak disertai dengan bunga, dan saya rasa bagi hasil adalah kompensasi yang paling tepat untuk menggantikan sistim bunga.
keren banget postingnya mba Evi…
spesifik dan tepat sasaran…
Dan merasa ketampar banget dengan poin no.1 mba…
aku dan abah termasuk generasi yang takut bikin usaha sendiri…karena belum berani menerima resiko kalo usahanya gagal…payah emang…
dan akhirnya sampai sekarang masih terjebak untuk jadi kuli terus dan kerja di tempat orang…
masih nabung dan mengumpulkan keberanian sih mba…
tapi dengan begitu banyak tanggung jawab dan cicilan yang harus dibayar…
kok yah jadi maju mundur terus yak…
*jadi curhat…hihihi*
Sepakat mbak, anak-anak memang dididik menjadi wirausaha. Orangtuanya juga harus dididik agar tak ingin anaknya menjadi pegawai negeri atau BUMN, karane terkadang justru dari orangtua semua ini berasal.
baru kapan itu aku bertanyatanya, balai latihan kerja itu masih ada ga sih sekarang?
jadi beneran udah ngga ada ya Bu Evi? Wah sayang sekali, padahal jelas hasilnya sangat membantu pemudapemudi untuk meningkatkan kualitasnya
Sangat suka dengan poin nomor 1. Jika orang Indonesia sudah berjiwa enterpreneur, tidak ada lagi yang bekerja sekedar untuk bertahan hidup. Semua orang berlomba menjadi yang terbaik.
Tidak perlu khawatir jika semua orang Indonesia sudah menjadi pengusaha dan tidak ada yang mau jadi karyawan. Kita datangkan saja orang-orang dari luar negeri sebagai karyawan kita. *khayalan tingkat tinggi*
senada dengan aspek yg no.3 lebih sederhananya misalnya hidupkan kembali karang taruna dalam lingkup pedesaaan/kelurahan.
Tulisannya bagus banget, nih mbak, dan bener tuh kata Arman, di atas semuanya yang perlu diubah adalah mental manusianya. Banyak kan yang kita lihat orang lebih suka jadi pengemis padahal sebenarnya lapangan pekerjaan itu ada di mana-mana, asal mau gigih mencarinya.
Mantap Bu Evi …
Dan saya rasa … tulisan ini sama sekali tidak terasa panjang …
Mengapa ?
sebab … sudah dipenggal-penggal menjadi tiga bagian … paragraf per paragraf
🙂
Jika kita menuliskannya sekaligus … mungkin akan terasa panjang …
Salam saya Bu Evi …
seingat saya waktu masih anak-anak di pedesaan digiatkan kegiatan PKK dengan banyak memberikan ketrampilan kepada ibu-ibu agar mampu menghasilkan suatu produk yang bisa meningkatkan pendapatan keluarga, ini sepertinya juga layak untuk dihidupkan kembali
Benar Mas..Kegiatan PKK tersebut pantas dihidupkan kembali. Memproduksi sesuatu berbahan baku lokal, yang banyak terdapat disekeliling. Cuma ibu-ibu itu juga mesti diajarkan marketing kali ya Mas..Sebab barang-barang yg sdh diproduksi tersebut harus bisa dijual..Tanpa kegiatan penjualan, kegiatan PKK tersebut gak akan manjang…:)
setuju mbak, harusnya sejak dini para anak-anak / siswa itu udah mulai ditumbuhkan jiwa entrepreneur nya.. daripada pas udah lulus, selesai sibuk2 nyari kerja kan alangkah baiknya kalau bisa menciptakan lapadangan pekerjaan.. 🙂
Kalau gitu Dhe sekarang juga bisa siap-siap..Mencari link antara ilmu yang saat ini dipelajari dengan produk atau jasa yang nanti bisa ditawarkan pada konsumen. Selamat berjuang Dhe 🙂
Benar banget perumusannya Mbak Evi. Salut dengan pemikirannya.
Saat sekarang dg model pendidikan spt ini,jangankan anak-anak yg putus sekolah – para sarjana pun bahkan nggak banyak yg punya pemahaman ttg entrepreneurship. Sehingga jadi aneh juga negara kita. Banyak sarjana yang nganggur karena nunggu kesempatan kerja..
Idenya dengan 3 jurus jitu di atas, kelihatnnya bakal banyak membantu, Mbak..
Ide seperti ini tentu membutuhkan pekerjaan besar yang melibatkan banyak orang Mb Dani..Mestinya aku duduk sebagai direktur program pada diknas ya..biar usulannya lebih ngepas heheehe…
Tapi kalaupun sekolah belum kepikiran menghidupkan entrepreneurship, kita bisa melakukannya pada anak-anak kita Mbak. Tiap kali mereka membeli sesuatu, kita bisa membawa mereka pada sudut pandang yang lain, sudut pandang pengusaha yg produknya mereka beli. Kira-kira apa yg dipikirkan pengusahanya dalam membuat barang tersebut? Kira-kira bagaimana mengerjakannya, dari mana bahan bakunya, dan cara apa yg mereka tempuh sampai akhirnya barang tersebut sampai ke tangan anak-anak…Aku pikir cara begitu pelan-pelan akan menumbuhkan suatu kesadaran bahwa dalam ekonomi masyarakat terbagi dua: Konsumen dan produsen..Sebaiknya2 masyarakat adalah produsen..karena mereka melayani kebutuhan orang lain..
Begitu sedikit pemikiranku Mbak 🙂
Aku kadang-kadang menerapkannya juga pada anak-anakku. Dan cukup mengejutkan juga, dg cara begitu ternyata mereka menunjukkan punya ketertarikan yang sangat baik di dunia menciptakan lapangan kerja dibanding ingin mencari kerja. Mudah-mudahan spiritnya tetap terjaga hingga saatnya nanti..
Apresiasi luar biasa buat Uni yang tak lelahnya berkarya, ciamik 3 aspeknya yang bertumpu pada peningkatan skill dan kewirausahaan. Trim ya Uni yang inspiratif. Salam
Hehehe..Thank you Mb Prih..Apalah awak ini, cuma sekedar omong-omong yg gak jelas juntrungngannya..
Salam kenal mbak evi. Tipsnya ada benarnya juga, tapi pertanyaannya adalah ngapain pengemis harus dikurangi. Mereka gak pernah merugikan negara dan penghasilan merekapun kadang diatas rata-rata.
Hahaha..Sinisme yang ngepas nih Bunga…Mengingat pengemis di ibu kota juga punya organisasi ya?
Wah, Mbak Evi bener2 bisa mencari 3 aspek itu secara mendalam ya…
Saya pastinya nggak bakal kepikiran sejauh itu dan paling2 hanya masalah sederhana dan mungkin malah cuman kulit2nya…
Hehehe..Pak Mars pandai memuji..Seperti tulisan Om NH ini cuma tulisan sotoy diantara kesibukan kemarin kok Pak..Eniwe thanks atas pujiannya 🙂
Satu lagi Bu Evi..mengoptimalkan potensi zakat di kalangan umat muslim Indonesia.
Tidak bisa dipungkuri mayoritas umat tanah air adalah ber-KTP Islam, dan mempunyai potensi dana zakat tiap tahunnya lebih dari 20 T, namun saat ini yang terkumpul per tahunnya sekitar 1,7 T.
Coba bayangkan 20 T itu dapat dimaksimalkan dan dikelola dengan profesional, semisal untuk peminjaman modal usaha, pelatihan tenaga kerja dll. Otomatis bila ini dijalankan yang namanya pengemis di perempatan jalan, halaman masjid akan berkurang dengan sendirinya.
Memberdayakan tangan di atas….
Idealnya begitu Mas Toto..Tapi ingat juga kita hidup dalam untrust society, tingkat kepercayaan masyarakata amat rendah kepada para pemimpin. Depdag itu konon kata orang termasuk departemen yang paling korup. Lihat saja ONH yg dibayarkan 3 tahun di muka oleh para calon haji. Oke lah gak ditabungkan di bank konvensional, tapi di bank syariah yang bagi hasil. Konon hasil usaha tabungan itu saja gak jelas peruntukannya untuk apa..Gimana masyarakat mau ramai-ramai memberikan zakat pada lembaga zaat..Bahkan disini uang sumbangan bencana alam saja di korup…Ribet dah Mas Toto…
Betul sekali..Departemen Agama memang dikenal sebagai salah satu dept terkorup…ironis ya bu?
Tapi bukan berarti kita kudu pesimis terhadap hal itu kan bu..bisa saja kita salurkan kepada lembaga2 non pemerintah yg terbukti kinerjanya.
Nah mungkin kedepannya antar lembaga tersebut saling berkoodinasi sehingga bisa menciptakan program “Memberi Umpan dan Kail” bukan hanya memberi “ikan” saja. Sehingga poin 1 dalam artikel ibu bisa dilaksanakan….ya begitu sih idealnya..hehehe
Untuk poin 2 sepertinya insya Allah 2013 sudah mulai dijalankan lho bu…kebetulan istri kan karja di LAPAN. Nah mulai 2013 nanti remunerasi bakal dijalankan..jadi sudah berdasarkan beban kerja dll.
latihan membuat selai pisang atau merubah tepung singkong jadi biskuit yang enak.. aku mau ikut pelatihannya..!
tulisan sotoy nan mencerahkan uni sayang.
Ah si Amay bisa saja…Buat disajikan kepasien ya May? Mokasi atas pujiannya 🙂
aku tambahkan point satu lagi ya mba yaitu BLT dihapus supaya mental rakyat bangsa ini menjadi manusia pekerja keras bukan mental seperti pengemis yang selalu mengharapkan bantuan tanpa mau berusaha
Bantuan tunai itu tak akan menyeselesaikan masalah, cuma hiburan sesaat dari mereka yg ingin dapat perhatian sesaat. Kemiskinan di Indonesia terjadi secara struktur, melibatkan banyak aspek sosial dan budaya, dan tentu saja perkara mental juga masuk. BLT hanya bermanfaat dalam keadaan darurat misalnya bencana alam. Tapi dalam jangka panjang gak ada pengaruhnya bagi si penerima.
bukan sotoy kok bun tapi namanya usaha hehehe. semoga bebas pengemis ya. bun aku seneng deh skr bisa lancar buka blognya bunda, sebelum pakai domain sendiri selalu gak bisa kebuka harus berulang2, maklum koneksiku suka bermasalah kalau buka WP
Hehehe..sotoy yg sedang berusaha ya Mbak Lid..Hm, senang deh kalau ternyata blog ini lebih mudah dikunjungi..Mudah2an dia gak betingkah lagi. Tks ya Mbak 🙂
sepakat banget dengan yang nomor dua Uni, untuk yang satu ini selalu aja di cekek. otomatis hasilnya juga nyekek. 😀
Dirimu merasakan langsung yah Tom..Masalahnya dan sepertinya, sudut pandang masyarakat Indonesia perlu disamakan bahwa biaya riset bukan kegiatan buang2 duit tapi investasi..Kalau bukan proyek aplikasi, emang sih hasilnya gak langsung kelihatan dan dinikmati maupun bisa di jual. Tapi menyumbang pada ilmu pengetahuan kan investasi dasar yang berharga banget kan yah Tom.
kurang lebih gitu ni, dari beberapa fenomena saya perhatikan research itu selalu berhenti di studi, giliran pelaksanaan/pembuatan ada aja masalahnya (tak lepas dari faktor dana). padahal proven atau ga proven-nya kan setelah ada wujudnya. Apalah kita, cuma bisa manut ni…
Akhirnya file-file studi saja yang kian tahun kian menumpuk yah Tom..Mungkin lembaga riset juga harus berubah, tak membuka riset baru sebelum studi yg pernah dilakukan berlanjut sampai aplikasi 🙂
tulisan sotoy tapi bener banget bu… 🙂
dan satu lagi, yang harus dirubah adalah mental manusianya juga…
Setujuh Mas Arman..Masalah pengemis sebagian adalah masalah mental selain kemiskinan. Banyak juga kok orang gak punya yang malu menadahkan tangan…:)
Wah akhirnya aku kedua kalinya berkunjung kerumah mbak evi ini. . . meskipun sotoy tapi tepat untuk dipraktekan. . .. 🙂
Terima kasih sdh berkunjung di mari Mas. Sotoy teman akrab soto kayaknya..enak dipraktekan di mulut hehehe…