Pulau Cangkir – Sekitar pukul dua belas bus yang ditumpangi ibu-ibu Majelis Ta’lim Baitul Makmur Cimanggis-Depok, sampai di Desa Kronjo-Tangerang Utara. Di alun-alun terapat patung cangkir besar sebagai maskot dari kecamatan Kronjo yakni Pulau Cangkir, tempat yang kami tuju. Namun dari sana kami harus berganti kendaraan lebih kecil karena kondisi jalan dan lahan di Pulau tak memungkinkan menampung kendaraan besar.
Baca lebih banyak tentang Traveling Notes di sini.
Dengan menyewa mini van (kijang kapsul) Rp. 150.000/trip, memaksakan muatan 10 orang ibu-ibu berbadan subur, dimulailah perjalanan penuh bantingan. Gimana lagi. Para ibu ini ingin hemat ongkos. Walau kondisi jalan sempit dan banyak yang berlubang, guncangan-guncangan itu dinikmati dengan canda dan tawa.
Jarak yang kami tempuh dari lapangan tempat parkir bus sekitar 5 KM. Melewati desa nelayan Kronjo yang halamannya penuh oleh jemuran ikan asin. Di sebelah kanan terlihat anak sungai Cidurian berair coklat yang bermuara ke Pulau Cangkir.
Baca juga :Â
- Â Menikmati Perjalanan atau Sibuk Memotret?
- Mewek Dibawah Masjid Pintu Seribu
- Resort Masa Depan yang Aduhai
Beberapa perahu penangkap ikan meluncur diatasnya pulang melaut. Yang bersandar di tepi sungai juga banyak. Disebelah kiri sepanjang mata memandang tampak kotak-kotak beraturan dari tambak-tambak ikan Bandeng. Pemandangan itu sedikit kontras dengan perkampungan yang tampak menekan dengan bubuk-gubuk bambu reyotnya serta bau amis dari ikan yang sedang di jemur.
Tiba di Pulau Cangkir Tangerang
Entah mengapa yang namanya desa nelayan terlihat selalu begitu, sedih dan buram. Mungkin hanya terjadi di Indonesia. Gubuk-gubuk kecil berdinding gedek bambu itu terlihat tua dan pasti juga akrab dengan banjir kalau hujan lebat atau air laut sedang pasang.Tiba-tiba jadi ingat pada renovasi gedung DPR dan pembuatan toilet super mewahnya. Kalau saja anggaran itu di gelontorkan kesini, dibuatkan program rumah sejahtera bagi nelayan, aku kira akan banyak yang mendoakan anggotata DPRÂ masuk surga tak seperti sekarang sekarang, mereka sedang panen sumpah dari seluruh rakyat Indonesia.
Pulau ini merupakan area wisata maritim dari Kabupaten Tangerang. Entah apa yang terjadi Padahal Banten tak begitu jauh dari sini. Begitu juga ibu kota Kabupaten Tangerang jaraknya cuma sepelemparan batu. Namun tak banyak terlihat campur tangan pemerintah dalam menjaga kelangsungan hidupnya. Pantai dibiarkan telanjang. Tak ada hutan bakau yang bisa menahan gerusan ombak. Tidak pula tampak pemecah ombak atau dermaga beton agar bisa menahan terjangan air laut ke darat. Konon sekitar tiga tahun lalu luas pulau ini sekitar 4.5 Ha dan sekarang cuma tinggal 2.5 Ha. Jika Pemda tak segera melakukan sesuatu bukan tak mungkin suatu saat Pulau Cangkir cuma tinggal nama.
Disamping pantainya memang indah, yang pada hari libur banyak dikunjungi wisatawan lokal, ikon wisata utama di Pulau Cangkir adalah makam keramat Syech Waliyudin atau terkenal dengan sebutan Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir. Menurut cerita sejarah beliau adalah putera Sultan Banten Maulana Hassanudin dari seorang selir. Kedatangannya kesini disuruh sang ayahnda untuk mengajarkan agama kepada penduduk lokal.
Sekarang Pulau Cangkir dan daratan Pulau Jawa terhubung. Pembangunan jalan tersebut dilakukan untuk memudahkan para peziarah yang datang dari pelosok tanah air. Apa lagi pada bulan Muharam tempat ini sangat ramai, mungkin ribet juga kalau harus menyeberang menggunakan perahu.
[slideshow]
Salam,
— Evi