Ngengat yang membakar sayapnya.
Ngengat itu sedang terbang menikmati keleluasaan malam saat matanya menangkap kelip cahaya dari kejauhan. Pemandangan tak biasa yang menghentikan kepak sayapnya di udara. Maka agar leluasa mengamati Sang Ngengat mencari sebatang pohon untuk hinggap.
“Apakah teman-temanku kunang-kunang sedang berpesta? Kalau ya mengapa mereka tidak mengundangku?”
“Atau kah itu cahaya dari sebatang lilin atau obor? Untuk apa mereka diletakan di sana? Adakah sesuatu yang amat penting akan terjadi malam ini yang belum aku ketahui?”
Berbagai pertanyaan terus muncul dari pikirannya. Menit berganti jam dan Sang Ngengat akhirnya lelah menerka-nerka.“Hanya satu cara dalam memberangus rasa ingin tahu ini yakni harus terbang ke sana. Aku harus tahu apa artinya kerlip dari tempat jauh itu” Pikirnya.
“Tapi jarakku dan sumber cahaya itu begitu jauh…” Sang ngengat mulai mengibaskan sayapnya yang tipis dalam keraguan.”Dengan sepasang sayap ringkih begini apakah waktu akan berpihak kepadaku?”
Dia mengarahkan hidung pada keempat penjuru mata angin, menaksir kedatangan subuh. ” Kalau aku terbang sekarang dengan kecepatan dua kali melewati lebar sayapku, jangankan sampai, sebelum subuh aku juga pasti sudah kembali ke sini”. Pikiran itu membangkitkan rasa optimisme Sang Ngengat.
Tak membuang waktu segera saja dia meluncur. Betul perhitungannya bahwa dalam beberapa menit pahlawan kita sudah sampai ke sumber cahaya. Merasa heran ada kecepatan terbangnya sendiri Sang Ngengat merayakan dengan mengelilingi api unggun, sumber cahaya yang membangkitkan rasa ingin tahunya di kejauhan.
” Kalau begini boleh melamar jadi atlit olimpiade nih “ Katanya sambil bermanuver mendekati api.
Sebelumnya Sang Ngengat memang tak tahu kemampuan terbangnya sendiri. Ia pikir hanya bisa terbang seluas wilayah jelajahnya selama ini. Ia melupakan prestasi para moyang yang telah melintasi badai dan padang gurun selama ribuan tahun.
” Selamat datang “
Sang Ngengat terkejut lalu mencari sumber suara yang menyapanya. Tapi di sana hanya ada dia dan api unggun . “Aku sudah lama menunggu kedatanganmu. Mengapa lama sekali? “ Ternyata suara itu berasal dari dalam api yang sedang berkobar.
“Menungguku? Untuk apa menungguku? Do I know you? “
Api terkekeh. ” Aku adalah kehangatan yang terlempar jauh dari hatimu. Sekarang engkau putuskan sendiri untuk apa aku menunggu atau you know me or not.”
Mendengar itu Sang Ngengat kembali terbang menglilingi unggun. Sekarang dia memperhatikan lebih cermat. Bertanya penuh keheranan seperti itu kah api yang pernah tinggal di hatinya?
Sesekali ia terbang lebih rendah. Mendekat dan merasakan hangatnya lalu mengambil jarak kembali. Sungguh ia takut sayapnya terbakar.
” Apakah engkau tidak salah orang?” Tanya Sang Ngengat akhirnya.
” Nasib tidak pernah memilih, engkau lah yang memilih” Jawab Sang Api diplomatis.
Ngengat diam, Api pun membisu. Mereka bersitatap, menceburkan diri di kanal bahasa semesta. Tidak lama, Sang Ngengat berteriak, ” Tidaaaaaakkkkkk…”
Dengan sendu Api membiar dirinya berkobar. Sebentar kemudian terdengar bunyi mendesis. Dan malam pun kembali senyap.
2 comments
Kasihan ngengat kasihan api, kebersamaan yang menyakitkan
Nah ngengat yang tak mau membakar sayapnya harus menghindari api ya, Mbak Ika 🙂