Saya baru blogwalking dan bertemu blog ini. Ceritanya, konsultan human capital management Watson Wyatt baru saja mengeluarkan penelitian , untuk keuntungannya sendiri, perusahaan perusahaan yang ‘ strich to the limit’ hendaknya lebih ramah terhadap karyawannya dengan membuka akses terhadap situs-situs jaringan sosial yang saat ini sudah membludak di internet.
Menurut mereka ketimbang capek memasang barikade dan karyawan juga capek ngedumel dari belakang, lebih baik memanfaatkan fasilitas jaringan seperti milis di Yahoo, Friensters, Multiply atau Facebool dll-nya itu sebagai alat untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik, komunikasi internal yang lebih rapi dan membangun employee engagement (ee).
Soalnya karakteristik workforce saat ini sudah berubah. Dulu orang memasuki dunia kerja berbekal safe player mindset, kalau perlu mencari kemah perlindungan untuk seumur sumur hidup . Itu bisa mereka temukan kalau menjadi pegawai negeri, karyawan BUMN atau perusahaan-perusahan yang menawarkan long life employment. Tapi anak-anak yang lahir pada 1980-an yang kerap disebut Generasi Y, punya pertimbangan lain. Bukannya memimpikan jadi “karyawan abadi” di satu kantor, mereka justru lebih suka berpindah-pindah, memburu gaji dan perkembangan karir yang lebih menjanjikan. Apa yang mereka bayangkan tentang “kompensasi” dan “benefit” pun tidak sama lagi dengan generasi terdahulu.
Disamping itu mereka juga mendambakan work/life balance yang lebih besar. Kesibukan kerja jangan sampai menghilangkan kesempatan untuk bergaul. Pokonya kerja dan gaul harus seperti anak kembar, beriring sejalan. Menurut Rumputeki yang masih muda itu di blognya, bahkan ada angkatan kerja ber- tipe yang tidak terlalu memikirkan gaji (artinya: gaji nggak perlu tinggi-tinggi amat, tapi tetap harus cukup tinggi ), yang penting fasilitas internet melimpah ruah dan tak terbatas, bisa browsing seharian, chatting, posting di milis, dan ngotak-atik Facebook sampai bosan. (Kalau saya yang jadi bosnya, boleh saja,a sal hasil gaul di internet itu bisa membuat perusahaan bertambah kaya seperti yang di lakukan oleh Mark Zuckerberg dengan Facebook-nya).
Kalau betul penelitian Watson Wyatt ini sahih, sepertinya dunia sedang bergerak kearah yang belum saya saya mengerti. Pola waktu belum berubah . Dalam hitungan 24 jam sehari, hanya 8 jam di alokasikan untuk dunia kantor atau kerja. Dan itupun perlu disisihkan 1 jam untuk makan siang. Sulit membayangkan bagaimana seorang karyawan bisa menyelesaikan pekerjaa dengan baik dan benar bila mereka sibuk berbalas email, ng-blog, mengotak-atik face book sampai bosan, atau sibuk menyalurkan bakat rewel melalui chatting di YM.
Kegiatan menggauili jaringan social internet juga menuntut porsi perhatian yang mau tidak mau harus disuplai oleh energy yang sama dimana seharusnya energy tersebut menjadi hak perusahaan karena telah membayarnya dengan gaji dan tunjangan-tunjangan kesejahteraan setiap bulan. Belum lagi waktu yang dipakai untuk small talk dengan rekan sejawat, membereskan diri ke toilet, menerima sms dan menjawabnya, lah kapan muncul kapan jiwa kreatifitas itu akan masuk ke pekerjaan yang sesungguhnya?
Tapi mempertahankan karyawan juga perlu. Sekalipun ( di Indonesia ), usia angkatan kerja berlimpah ruah sehingga perlu di eksport menjadi TKI ke negara orang, menemukan karyawan yang tepat untuk sebuah posisi yang tepat tidak semudah buang ludah. Butuh biaya tambahan disamping capek juga tiap kali merekrut orang.
Untuk memenuhi rasa ingin tahu lalu saya gooling apa itu Employee engagement, jawabannya : Employee engagement is a concept that is generally viewed as managing discretionary effort, that is, when employees have choices, they will act in a way that furthers their organization’s interests. An engaged employee is a person who is fully involved in, and enthusiastic about, his or her work.
Saya termasuk yang percaya bahwa kemerdekaan dan kebebasan untuk melakukan hal-hal yang kita sukai cenderung akan membuat orang bahagia.Dan manusia yang berbahagia biasanya lebih kreatif. Kreatifitas adalah tools untuk berkembang. Membuat karyawan betah juga penting. Namun bila konsep Employee engagement ini diterapkan untuk memberi akses ke setiap karyawan untuk terlibat di jaringan social internet yang jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan pekerjaan utama, tetap saja, menurut saya sangat berlebihan.
Wassalam,
— Evi