Diwaktu-waktu tertentu saya senang melakukan piknik duduk yaitu menjelajah dari blog ke blog, membaca artikel-artikel yang saya anggap menarik dan berusaha menangkap pesan-pesan yang disampaikan penulisnya sampai saya merasa bosan berada disana dan loncat ke blog lain.
Kalau sudah ‘penuh’ saya kembali ke blog sendiri. Peristiwa kembali ini rasanya persis seperti pulang dari piknik benaran. Bila meninggalkan rumah dalam waktu lama, biasanya orang akan merindukan rumah, sebuah ruang dimana bebas menjadi diri sendiri tapi kadang menjemukan bila terus menerus berada di dalamnya.Yang paling membuat ‘bete’ kalau berada dalam rumah sendiri adalah jika blog tidak kunjung di update, sementara tadi berkunjung ke blog hasil olah pikiran kreatif milik orang lain. Rasanya gimana gitu!
Kalau sudah begini saya kasih kesempatan hati menjerit,sekeras-kerasnya ( toh tidak ada yang dengar ) ” what is your problem, mam?” Dengan segitu banyak bahan bacaan, internet, blogwalking, banyak orang, masa sih tidak ada satupun yang bisa ditulis?
Well, sejujurnya, sebagai seorang Carpircornus, saya tidak akan pernah kekurangan ide.Misalnya, hari ini saya bisa menuliskan 3 topik. Mulai dari anthurium yang lama di telantarkan dan begitu saya mulai mengembangkan hubungan dengannya dia membalas dengan mengeluarkan daun-daun yang cantik. Atau saya bisa menuliskan tentang Adit yang sumbringah benar hari ini karena terpilih sebagai salah seorang siswa BINUS – Serpong yang akan akan ikut Immersion Programe ke sekolah Hwa Chong International School di Singapura selama lima hari.Atau tidak akan ada yang melarang bila saya tuliskan di blog ini bahwa hari ini saya ‘sebeal berat’ pada seorang teman, bukan?
Tapi ya begitulah, saya tidak mencoba menuliskannya, malah memilih mengasihi diri sendiri dengan berkeluh kesah tentang betapa sulitnya menulis.
Jawaban paling jujur sebenarnya, menulis itu tidak susah! Yang susah adalah meminggirkan kemalasan. Bak seperti raksasa tidur di tengah jalan, kemalasan menghalangi lalu lintas kreatifitas saya dan tuntutan dari dalam agar selalu mengasah mutu pribadi.
Kalau mau jujur lagi, sebenarnya saya menjadi tuan yang buruk bagi diri sendiri. Saya membiarkan instink primitif mengambil kendali dengan menepuk genderang terhadap pikiran meloncat-loncat tanpa jurusan dan ke segala arah. Sudah begitu, ibarat berdiri di mulut kepundan, saya malas duduk diam berlama-lama untuk mengikuti jalur aliran ide. Dan entah siapa yang menyuruh saya agar menyerah pada mind set yang saya buat sendiri bahwa saya tidak tahan terhadap detail.
Kalau bobrok sudah di bongkar begini, akan kah saya berubah besok? Sebuah suar bergema dari jauh, ” Let us see, honey…”
— Evi
Yang sedang ikut bahagia dengan Adit